Rabu, 13 Februari 2008

ESSAI

MESKI IBU PERTIWI MASIH MENANGIS,

TETAPKAN HATI MENATAP MASA DEPAN

Oleh: Yuyus Robentien


Sikap Para Orang Tua, Sebuah Realita

Pada saat kita berjalan di beberapa lampu merah dan pasar di perkotaan, akan tampak di mata kita para anak jalanan berkeliaran menunggu belas kasihan dan uluran tangan kita. Apalagi bila kita renungkan lebih mendalam, jumlah mereka tentunya kian meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan, dari tempat yang dulu masih kosong tanpa kehadiran anak jalanan tersebut, kini sudah mulai bermunculan. Ada apakah sebenarnya? Dan siapakah mereka?

Sebagian anak jalanan memang terlahirkan tanpa orang tua. Entah mereka berasal dari hubungan gelap para orang tua, yang kemudian membuangnya begitu saja. dan, setelah mereka mulai tumbuh menjadi anak-anak, diserobotlah oleh kaum preman untuk diberdayakan. Diberdayakan dalam ketidak-berdayaan mereka. Sehingga, dalam setiap harinya mereka harus berpeluh-keringat di jalan-jalan hanya untuk memenuhi target para kaum pemeras.

Di sisi lain, anak jalanan juga ada yang memiliki orang tua. Orang tua yang tak mau bertanggung-jawab atas masa depan mereka. Bahkan, para orang tua tersebut tega mengeksploitasi tenaga anak-anaknya, hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi.

Akan di bawa ke manakah generasi bangsa ini? Bukankah mereka adalah anak-anak bangsa yang harus memperoleh hak-haknya di masa kanak-kanak? Lalu, bagimanakah keadaan anak-anak yang terlahirkan dari kalangan orang tua berada? Akankah nasib mereka jauh lebih mujur, dibandingkan nasib anak-anak jalanan?

Jawabnya, cobalah kita tengok anak-anak yang terlahirkan dari keluarga kaya. Dengan siapakah sehari-harinya mereka di rumah? Dengan pembantu mereka dibesarkan. Belum lagi, pada saat rasa sepi menyeringai, sarana TV-game-dan internet, adalah sahabat mereka. Lalu, pengajaran apakah yang mereka peroleh dari TV-game-bahkan internet tersebut? Kehidupan kekerasan, tontonan amoral, bahkan kiriman situs porno yang tiba-tiba muncul dan tak dapat terelakkan. Maka tak mengherankan, bila tiba-tiba saja anak-anak usia dini sudah terlibat dalam berbagai tindak kriminal.

Belum lagi, di lingkungan sekolah mereka. Berteman dengan sesama anak orang kaya dan sibuk, sama artinya berkumpul dengan anak-anak frustasi, yang haus akan kasih sayang. Pada kondisi ini, akhirnya mereka bersekongkol untuk mencari kompensasi ke luar. Ke gedung-gedung bioskop, ke mall, bahkan ke diskotik. Di tempat-tempat yang rawan inilah mereka akhirnya mengenal hal-hal yang terlarang, salah satunya adalah narkoba. Yah, akhirnya mereka terjerumus ke dalam pergaulan bebas bahkan sek bebas.

Ditambah lagi, tingkat keamanan anak-anak untuk terlindungi dari segala marabahaya, sangatlah meragukan. Bagimana tidak, banyak sekali anak-anak pada usia dini, justeru diperkosa oleh bapak, paman, ataupun kakek mereka sendiri? Sungguh, ini kondisi yang memprihatinkan. Seolah, anak-anak bangsa ini, tak punya tempat yang layak, nyaman, apalagi care bagi mereka.

Pada kondisi seperti ini, tentu saja ibu pertiwi masih saja menangis. Meratapi

kemerdekaan yang telah diperjuangkan pahlawan sebelumnya, namun belum bisa memberikan

kemerdekaan pada anak-anak bangsa ini. Masih saja ada tugas yang tercecer, belum terusaikan.


Dimanakah Masa Depan Bangsa Ini?

Di pundak anak-anak bangsalah masa depan bangsa ini akan dilanjutkan. Untuk itu, agar mereka bisa amanah dalam memikul beban ini kelak, dibutuhkan suasana pemeliharaan yang representatif tentunya. Suasana pemeliharaan yang representatif ini, dapat diuraikan sebagai berikut.

Pertama, anak-anak hendaknya punya kegembiraan di masa kecilnya. Karena dengan kegembiraan itu, kecerdasan anak akan dapat tumbuh dan tergali secara sempurna. Bermain di tempat yang aman dan alami, akan mengantarkan anak pada pola perkembangan yang wajar, tanpa tuntutan dan paksaan. Sehingga, mereka dapat menemukan jatidiri secara baik dan apa adanya.

Jadi, penjejalan anak dengan kegiatan les dan privat, serta pembelajaran via komputer dan televis, belum tentu efektif mengantarkan anak untuk berkembang secara utuh. Berdasarkan penelitian, TV dan komputer bukanlah sarana yang efektif bagi pembelajaran anak-anak. Terutama pembelajaran bidang kemampuan berbahasa. Komunikasi dan interaksi langsung dari orangtualah yang justeru lebih efektif.

Belum lagi nasib para anak jalanan itu. Darimanakah mereka akan mendapatkan kegembiraan, sementara masa kecil telah mereka habiskan di jalan-jalan? Bagimana mereka bisa tumbuh secara optimal?

Kedua, Berdasarkan penelitian, perhatian orang tua sangatlah berpengaruh bagi perkembangan emosi anak. Untuk itu, para orang tua hendaknya proporsional dalam membagi waktunya. Sebab, mereka sibuk bekerja toh demi kepentingan anak-anak juga. Lalu apa artinya, terpenuhinya kebutuhan materi bagi anak-anak, sementara kebutuhan mental mereka terlupakan begitu saja?

Apalagi untuk nasib para anak jalanan itu. Darimana mereka akan mendapatkan kasih sayang dari orang tua, sementara memang mereka telah terlahirkan dalam keadaan tanpa orang tua? Bahka yang berorangtua pun, telah memanfaatkan mereka untuk mengais rezeki.

Ketiga, mendapatkan pendidikan yang cukup. Anak-anak yang terlahir dari keluarga berkecukupan belum tentu akan mengecap pendidikan yang cukup. Sebab, sebagian anak-anak banyak yang terjerumus dalam pergaulan bebas, terkena narkoba, terjangkit virus HIV. Sehingga, hari muda mereka hanya dihabiskan untuk keluar-masuk panti rehabilitasi.

Sedangkan anak-anak jalanan itu, mereka terpaksa putus sekolah bahkan tidak sekolah hanya tekanan keadaan. Jangankan untuk biaya sekolah, hanya untuk makan sehari tiga kali, belum tentu bisa mereka lakukan. Apalagi, tekanan pihak luar, orang-orang yang lebih dewasa, selalu saja memeras dan mengekang mereka.


Diperlukan Pembelajaran Orang Tua yang Mencerdaskan

Ketika orang tua sudah menyandang gelar sebagai “orang tua”, bukan berarti mereka telah terbebaskan dari kewajiban belajar. Menurut Harefa, tokoh “manusia pembelajar”, menyatakan belajar hendaknya dilakukan semua orang pada senjang hidupnya, tanpa batasan waktu. Tak perduli siapakah orang itu, hidup ini pada hakikatnya adalah proses pembelajaran itu sendiri. Yang menjadi guru dan murid adalah manusia itu sendiri. Dan, ketika seseorang terutama para orang tua mau berbenah atas kesalahan yang terjadi, berarti orang tersebut telah belajar.

Untuk itu, diperlukan pembelajaran yang mencerdaskan bagi para orang tua. Dengan cara mengembalikan “essensi” orang tua sebagaimana mestinya. Yaitu, orang tua adalah pendidik bagi anak-anaknya. Orang tua berkewajikan memberikan perhatian dan kasih sayang seutuhnya terhadap anak-anak. Bahkan, orang tua adalah pemberi teladan yang piawai bagi anak-anaknya.

Dengan demikian, orang tua hendaknya belajar dari realita yang ada. Jangan pernah “cuek” pada anak-anak. Antarkan anak-anak mengapai masa depan mereka yang cerah. Jadikan “optimisme anak bangsa” akan kembali terangkai di antara serpihan-serpihan yang hampir saja berhamburan. Satukan kembali tekad untuk menjadi “orang tua yang cerdas”. Tentu saja, orang tua yang cerdas intelektual, cerdas emosi, bahkan cerdas spiritualnya.


Implementasi Pembelajaran Sosial Kemasyarakatan yang Kondusif

Di masyarakat pun diperlukan sistem pembelajaran yang terpadu, penuh keteladanan, dan tanggung-jawab bersama. Sehingga, kehidupan masyarakat yang aman, tertib, peduli norma sosial dan agama, akan mengantarkan anak-anak lebih heigenis dari pengaruh buruk. Meski pengaruh luar negeri begitu ketat, bila tayangan televisi dan hiburan lainnya dapat diseleksi secara baik, tentunya kondisi anak-anak masih bisa dikendalikan.

Apalagi untuk mengentaskan nasib para anak-anak jalanan, Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA) harusnya mampu menjawab tantangan ini. Namun, sepertinya masih perlu pembenahan di sana-sini. Sebab, baru sebagian kecil saja orang-orang berkecukupan yang mau peduli akan kegiatan ini.

Sehingga, perlu pula partisipasi lembaga lain, bahkan individu untuk berusaha mengentas ketelantaran anak-anak jalanan yang ada. Misalnya, dengan mendirikan panti-panti asuhan, ataupun balai-balai pelatihan, dan lain-lain. Dengan harapan, sistem pembelajaran sosial kemasyarakatan yang kondusif akan dapat terimplementasikan secara baik; perlahan-bertahap-dan pasti.

*****

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Artikel yang bagus,,
memang ini fenomena orang tua atau kehidupan anak di kota,, sangat bermanfaat kita sebagai referensi bagai mana mendidik anak lebih baik dg tidak meninggalkn kwaajibannya utk mencari nafkah,,

good luck for us,,

-dafik.web.id-