Kamis, 07 Februari 2008

ARTIKEL


UJIAN NASIONAL
(Pemicu Ancaman Krisis Kepercayaan bagi Guru)
Oleh: Yuyus Robentien*


Seputar Pro dan Kontra Ujian Nasional/UN

Pemerintah mengabaikan kritik masyarakat yang menunjuk UN tidak sesuai prinsip-prinsip pedagogis, UU Sisdiknas, dan UU Guru. Buktinya UN untuk siswa SMP ditetapkan 22-24 Mei, SMA berlangsung 16-18 Mei 2006. Siapa dapat menghentikan rencana ujian nasional? Alasan penolakan bermula dari tujuan UN untuk memetakan mutu pendidikan di negeri ini, lantas bertujuan menentukan kelulusan siswa (Debritto.Net: Kartono, 18 Mei 2006).
Bahkan dalam Situs BSNP tentang Ujian Nasional 2008 (Sabtu, 24 November 2007 10:26:01 WIB Ujian Nasional) dijelaskan, pemerintah telah menetapkan bahwa Ujian Nasional (UN) untuk SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB dan SMK tahun pelajaran 2007/2008 akan dilakukan pada minggu keempat bulan April 2008. Penetapan ini melalui PERMEN No 34 Th 2007, tgl 5 November 2007. Acuan penyelengggaraan secara rinci diberikan pada POS UN. Mata Pelajaran yang diujikan adalah:
SMP/MTs/SMPLB (5-8 Mei 2008) - Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).

Berarti, UN akan dilaksanakan pada tahun 2007/2008 ini. Tampaknya, latar belakang di mana mayoritas siswa kita baru mau belajar jika ada tantangan berat di depannya. Misalnya ujian masuk SMP, SMA, dan PT, membuat pemerintah menganggap ujian nasional tetap penting untuk dilaksanakan pada tahun ini. Meski dalam UU Sisdiknas 2003 pasal 58 disebutkan dengan jelas, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik bukan oleh pemerintah (Pikiran Rakyat: Icha, 3 Februari 2005).

Padahal, ujian nasional terintegrasi ujian sekolah (UNTUS) untuk siswa SD yang mulai diterapkan pada bulan Mei 2008 dinilai hanya mengukur kemampuan kognitif siswa. Sebab itulah, sebagian besar orang tua dan masyarakat pendidik menentang pelaksanaan UNSD atau UNTUS tersebut ( Lampung Post: RIN, 19 November 2007). Dan yang lebih memprihatinkan, ternyata UN dinilai kurang sahih; tidak mampu memotret kompetensi siswa yang sesungguhnya. Masih ingat, siswa “berprestasi cemerlang” yang akhirnya gagal menempuh UN? (Jalur Lurus: Tuhusetya, 30 November 2007).
UN-pun mengancam eksistensi kepercayaan pada guru. Contoh pada siswa di pedalaman yang tidak lulus, ada komentar ketidaklulusan itu disebabkan oleh guru yang tidak kompeten. Sementara bila siswa di perkotaan banyak yang lulus, ada komentar kelulusan tersebut disebabkan oleh sebagian besar anak perkotaan mengikuti Bimbingan Belajar/Bimbel di luar sekolah (swasta).
Lalu, di manakah eksistensi guru dapat terakui? Dan menurut Wibisono (Wawasan Digital: 24 November 2007), UN itu bersifat nasional maka ada kendala pembeda antara sekolahan yang ada di perkotaan dengan sekolahan yang ada di pinggiran. Seperti yang kita amati bersama, antara sekolah di perkotaan dengan di pinggiran tentunya memiliki perbedaan, mulai dari segi fasilitas maupun kualitas gurunya. Pada pernyataan di atas, memungkinkan guru menjadi salah satu penyebab kegagalan siswa. Benarkah UN yang menjadi pemicu ancaman krisis kepercayaan bagi guru?!


Persepsi Siswa: Sebuah Realita

Tiap tahunnya menjelang pelaksanaan Ujian Nasional (UN), Lembaga Bimbingan Belajar (LBB) selalu diserbu para siswa, baik SD, SMP dan SMA. Satu tujuan yang ingin dicapai, yakni bagaimana mereka bisa lulus UN dan dapat masuk ke sekolah atau Perguruan Tinggi Negeri (PTN) favorit. Melihat fenomena seperti ini, timbul pertanyaan di benak kita. Apa yang membedakan sistem pembelajaran di LBB dengan sistem pembelajaran di sekolah-sekolah? Pada prinsipnya sistem pembelajaran yang diterapkan di sekolah dengan yang diterapkan sebagian besar LBB tak berbeda. Bahkan kurikulum yang digunakan selalu mengacu pada kurikulum yang berlaku secara nasional. Hanya saja penerapan metode penyampaian yang digunakan oleh LBB lebih variatif bila dibandingkan dengan yang dilakukan guru-guru bidang studi di sekolah (Suara NTB: Bug, 22 Februari 2007).

Berdasarkan hal di atas, penulis termotivasi untuk mengadakan survei pada sebuah Sekolah Menengah Pertama yang tergolong bonafit dan faforit di kota Malang. Survei tersebut berusaha menjaring data yang terkait dengan aspek-aspek Pembinaan Menjelang UN di sekolah, dibandingkan LBB/Bimbingan Belajar (Bimbel) yang berada di luar sekolah. Setelah diadakan survei diperoleh data, terdapat 79,13% siswa telah mengikuti Bimbel di luar sekolah dan 20,87% belum/tidak mengikuti Bimbel. Data ini diperoleh dari seratus lima belas (115) siswa kelas 9 yang telah mengisi angket.

Berdasarkan isian angket di atas, diketahui bahwa persentasi siswa lebih banyak yang menyatakan Bimbel jauh lebih baik dibandingkan Pembinaan di Sekolah. Dengan kata lain, persentasi siswa lebih sedikit yang menyatakan Pembinaan di Sekolah lebih baik dibandingkan Bimbel. Hal di atas, berangkat dari penilaian siswa berdasarkan aspek-aspek: kualitas (program); kompetensi guru; kecocokan/representasi materi; dan pengaruhnya terhadap kelulusan siswa, baik pada Pembinaan di Sekolah maupun pada Bimbel.

Memang, terdapat persentasi siswa lebih banyak yang menyatakan Pembinaan di Sekolah lebih berpengaruh pada kelulusan siswa. Namun, pendapat tersebut bukan disebabkan oleh keyakinan siswa akan kualitas pembinaan di sekolah, kompetensi guru, ataupun kecocokan materinya. Pendapat tersebut lebih dipengaruhi oleh keyakinan siswa bahwa guru adalah salah satu pemegang palu kelulusan siswa, sama seperti pendapat bahwa guru adalah salah satu penentu kenaikan kelas siswa.

Jadi, fenomena ancaman krisis kepercayaan siswa terhadap guru, mulai menampak. Namun, apakah UN yang menjadi pemicu ancaman krisis kepercayaan tersebut?!


UN adalah Ladang Bertani Para Guru


Sebenarnya, pernyataan “UN sebagai pemicu ancaman krisis kepercayaan bagi guru” adalah hal yang perlu dikaji kembali. Sebab, UN adalah program pemerintah yang tidak bisa terelakkan sampai detik ini. Namun, akankah guru terperangkap dalam ketidakberdayaan dan mendiskreditkan UN? Alih-alih menunggu kebijakan pemerintah tentang UN berubah, guru harus tetap berpikir bijak untuk mengambil langkah positif.

Seorang pelaut ulung memberi nasihat,” Kamu tidak akan bisa mengubah arah angin tapi kamu bisa mengubah arah layarmu.” Kamu juga tidak bisa mengubah keputusan para pejabat negara yang telah menetapkan UN. Tapi kamu bisa mengubah sikapmu menyambut UN (Welcome to IZI Consulting Forum: Agus, 20 Juli 2006). Nasihat ini dapat diterapkan guru. Guru hendaknya bersikap lebih proaktif dan kompetitif. Siap bekerja keras, menjadikan UN sebagai tantangan.

Mungkin, bukan UN-nya yang menjadikan guru tidak memiliki eksistensi pengakuan masyarakat saat siswa-siswanya lulus 100%. Barangkali, bukan UN-nya pula yang menjadikan guru sebagai oknum pertama yang tertuduh saat ada siswa yang tidak lulus. Bisa jadi, rumor di atas muncul justeru berangkat dari kharismatik guru yang kurang terasah. Sebab, sebagian guru memang masih kurang berpacu untuk mengembangkan profesionalitas.

Seharusnya, UN dijadikan ladang bagi guru untuk bertani. Bukankah seorang petani akan lebih memahami bagaimanakah cara bercocok-tanam yang baik dibandingkan seorang nelayan, misalnya? Bukankah seorang petani lebih memiliki alat-alat pertanian yang lebih tajam dibandingkan seorang pedagang, misalnya?

Berarti, seorang guru jauh lebih tahu kurikulum dibandingkan professional lain. Guru juga lebih menguasai Standar Kompetensi Lulusan/SKL dibandingkan professional lain. Bahkan, guru memiliki materi dan kisi-kisi soal UN yang lebih representatif. Harusnya, guru lebih piawai dalam membimbing para siswa agar lulus 100%.

Ibarat pedagang, adalah wajar bila dalam satu pasar ada banyak penjual buah-buahan. Begitu juga dengan “Program Bimbingan Belajar/Bimbel” menjelang UN. Harusnya, guru lebih memiliki produk dengan “daya jual” lebih tinggi. Sebab, guru lebih mengetahui kurikulum. Guru lebih memahami SKL berserta kisi-kisi soal. Bahkan, guru memiliki pengembangan materi yang lebih cocok dan representatif.

Untuk itu, mulailah untuk berbenah. Ciptakan kharismatik diri secara dewasa. Tidak hanya sebagai wahana perbisnisan. Tapi, UN adalah wahana bagi guru untuk mengemban tanggung jawab yang besar. Sebab, para siswa secara resmi menjadi tanggung-jawab guru. Bukan tanggung jawab para tentor, pembina, ataupun pengajar di sebuah Bimbingan Belajar/Bimbel (Swasta). Kelulusan para siswa, adalah tanggung jawab guru.

Adalah ironis, bila siswa tidak lulus, gurulah yang menjadi tudingan. Sementara bila siswa lulus dengan nilai memuaskan, justeru peran guru “dialpakan”. Harusnya, fenomena ini tidak perlu terjadi andaikan para guru memiliki tindakan antisipatif sebelumnya. Misal, dengan menunjukkan pola pembinaan/bimbingan menjelang UN melalui program yang jelas, terarah, serta bertolok ukur. Apalagi para guru Pembina pelajaran UN tersebut benar-benar guru pilihan, handal, memiliki etos kerja tinggi, loyal, serta bertanggung jawab.

Memang dibutuhkan upaya kreatif untuk memulihkan sebuah krisis kepercayaan di atas. Pertama, guru membuat “peta konsep” berdasarkan SKL yang ada. Sehinggga, siswa tidak harus dijejali materi yang terlalu overloud dan memuakkan. Kedua, guru juga membuat pola penentuan indikator berdasarkan soal-soal UN sebelumnya. Berdasarkan pola indikator yang sudah terbentuk tersebut, guru dapat menyusun indikator-indikator (kisi-kisi soal) baru yang disesuaikan dengan SKL terbaru.

Ketiga, guru juga harus mempelajari formulasi bentuk soal-soal UN sebelumnya. Lalu, guru mencoba menyusun soal berdasarkan kisi-kisi yang dibuat sebelumnya, dengan mengadaptasikan formulasi bentuk soal yang telah ditemukan. Kalau guru sudah handal menyusun kisi-kisi dan soal UN, otomatis guru pun akan tahu “trik” menjawab soal secara benar. Sehingga upaya keempat yang bisa dilakukan, membantu siswa menemukan cara belajar yang “cerdas dan mudah”. Bahkan kelima, guru bisa menciptakan “jaringan tirakat” dengan para siswa. Artinya, pada waktu tertentu guru bisa mengingatkan siswa (via SMS/telepon, misalnya) agar melakukan sholat malam dan berdoa. Dan, si guru pun turut sholat malam dan mendoakan siswanya.

Nah, dengan upaya kreatif di atas, guru tentu memiliki tawaran produk yang lebih menjanjikan. Hal ini akan menjadikan para siswa lebih bersimpati pada gurunya. Para siswa akan lebih percaya dan memilih gurunya. Bahkan, kepercayaan ini akan mengurai sebuah kedekatan bathin antara guru dengan siswa. Sehingga, para siswa menjadi yakin bahwa mereka akan mendapatkan keberkahan dari Tuhan karena senantiasa menghargai dan menghormati guru. Akhirnya, terciptalah keselarasan dan keharmonisan cita-rasa dan karsa, antara guru dan siswa.
*****

Tidak ada komentar: