Rabu, 13 Februari 2008

PSIKOLOGI PENDIDIKAN




KEBERHASILAN BELAJAR ANAK
TERGANTUNG PADA PELAYANAN SEKOLAH/GURU DAN ORANG TUA


Oleh: Yuyus Robentien




Cermati Gaya Belajar Anak Anda

Sebagian besar orang tua atau guru terlalu mendiskreditkan bahwa “anak itu bodoh”, bila melihat seorang anak mengalami kesulitan/kelambatan belajar. Padahal, hal itu bukanlah hal yang mutlak. Banyak faktor yang mempengaruhi. Termasuk salah satunya adalah kurang tepatnya pelayanan sekolah/guru, juga orang tua, dalam memfasilitasi proses belajar si anak.

Masing-masing anak memiliki kecenderungan kecerdasan dan gaya belajar yang berbeda-beda. Sedangkan sekolah/guru, termasuk ortu, pada umumnya memberikan pelayanan belajar yang mencakup dua ragam kecerdasan saja, yaitu kecerdasan linguistik dan kecerdasan matematis-logis. Padahal, kecenderungan kecerdasan anak berpengaruh pada kecenderungan gaya belajarnya. Sehingga, anak yang memiliki kecenderungan kecerdasan di luar linguistik dan matematis-logis, akan merasa tidak terlayani. Dengan kata lain, pelayanan belajar dari guru/ortu tersebut tidak sesuai dengan gaya belajar anak. Hal inilah yang menyebabkan anak mengalami kegagalan belajar, meski sebenarnya dia “tidak bodoh”.

Ada tiga kecenderungan gaya belajar anak (DePoorter, 2000), yaitu gaya belajar visual, auditorial, dan kenestetik. Pelajar visual adalah pelajar yang belajar paling baik ketika melihat gambar-gambar yang mereka pelajari: sebagian kecil mereka berorientasi pada “teks tercetak” dan dapat belajar melalui membaca. Pelajar auditorial, yang paling baik belajar melalui suara: musik dan berbicara. Sedangkan pelajar kinestetik, paling baik belajar ketika mereka terlibat, bergerak, mengalami, dan mencoba-coba.

Untuk menemukan gaya belajar seorang anak, dapat dicermati melalui bahasa tubuh si anak saat menerima informasi (Jeannette Vos, 2002).

*Pelajar visual biasanya duduk tegak dan mengikuti penyaji/guru dengan matanya.

*Pelajar auditorial sering mengulang dengan dengan lembut kata-kata yang diucapkan penyaji/guru, atau sering menganggukkan kepalanya saat penyaji/guru menjelaskan informasi lisan.

*Pelajar kinestetik sering menunduk saat ia mendengarkan.

Untuk mencermati gaya belajar seorang anak, juga bisa melalui gerakan mata dan mendengarkan pembicaraan anak tersebut.

*Pelajar visual biasanya duduk tegak dan melihat lurus ke depan, atau matanya memandang ke atas saat menerima informasi, dan jika berbicara cepat.

*Pelajar auditorial biasanya melihat ke kiri-kanan saat menerima infirmasi, dan jika bicara dengan suara yang berirama.

*Pelajar kinestetik biasanya banyak bergerak, memandang ke kanan dan ke bawah sat menerima dan menyimpan informasi, dan ia seorang pembicara yang lambat.

Dengan demikian, kita bisa menentukan kecenderungan kecerdasan dan gaya belajar seorang

anak. Tanpa pendiskreditan tertentu, kita bisa lebih bijak dalam menyikapi keterlambatan

belajar mereka. Sebagai pihak pendidik pun, kita bisa lebih interospeksi diri.


Kegagalan Pelajar Kinestetik dan Peran Kinesiologi

Secara umum, seperti dipaparkan di atas bahwa sekolah-sekolah masih cenderung melayani siswanya dengan cakupan orientasi pada kecerdasan linguistik dan matematis-logis. Hal ini menimbulkan masalah belajar pada pelajar kinestetik. Seperti disampaikan Gordon Dryden dan Dr. Jeannette Vos (tahun 2002) bahwa “para pelajar kinestetik adalah yang paling beresiko gagal dalam kelas tradisional Mereka perlu bergerak, menyentuh, atau bertindak. Jika metode pengajarannya tidak memungkinkan mereka melakukannya, mereka merasa ditinggalkan, tidak terlibat, dan bosan”. Sehingga, riset yang dilakukan Howard Gardner, Dunns, dan Barbara Prashing menunjukkan bahwa kebanyakan murid putus sekolah tidak mendapatkan yang terbaik di sekolah yang hanya menampung dua “ragam kecerdasan’ daru tujuh atau lebih ragam kecerdasan yang ada. Dan kebanyakan dari mereka uga merasa terabaikan di lingkungan sekolah yang tidak mendukung pembelajran kinestetik.

Seharusnya, sebelum kasus putus sekolah itu terjadi, para guru/ortu sudah mengetahui akan kurang tepatnya pelayanan mereka untuk si anak. Sebab, kondisi di atas jelas berakibat pada perasaan yang terabaikan. Perasaan yang terabaikan inilah yang beresiko “stress” dalam diri siswa. Padahal, 80% kesulitan belajar itu berhubungan dengan stress. Untuk itu, kinesiologi mulai mencoba menghilangkan gejala ini.

Seperti halnya kinestetik (gerakan), kinesiologi (ilmu tentang gerakan), dan kinestesia (kepekaan akan posisi, gerakan, dan ketegangan dari anggota tubuh) merupakan aspek-aspek yang penting pada gaya belajar. Kathleen Carroll-ahli kinesiologi dari Washington DC yang menerapkan strategi belajar cepat terpadu dalam pelatihannya-mengatakan, “Kinesiologi meningkatkan kemampuan akademik semua orang.” Jadi, kinesiologi berperan besar dalam membantu pelajar kinestetik yang mengalami stress dalam belajar. Sehingga, sebelum kasus putus sekolah terjadi, keteringgalan pelajar kinestetik dalam belajarnya, bisa diupayakan semaksimal mungkin melalui kajian kinesiologi.

Partisipasi Ortu

Sebagai Ortu, hendaknya berperan aktif dalam mencermati gaya belajar anak-anaknya, sebelum si anak benar-benar mengalami kegagalan. Apalagi bila ditemukan kekurangtepatan pelayanan sekolah/guru dengan gaya belajar si anak, seperti yang sering terjadi pada pelajar kinestetik. Komunikasikanlah masalah ini dengan pihak sekolah/guru. Sehingga, guru bisa mencoba mencari alternatif metode pelayanan belajar yang sesuai dengan kebutuhan si anak.

Pelajar kinestetik cenderung memiliki kecerdasan kinestetik pula. Kecerdasan ini biasa ditemukan pada: penari, aktor, atlet, penemu, ahli bedah, karateka, pekerja luar, dan bakat mekanis. Adapun ciri yang menonjol adalah (1) memiliki daya kontrol tubuh luar biasa, (2) refleks yang sempurna, (3) belajar paling efektif dengan bergerak, (4) suka olah raga fisik, (5) suka menyentuh, (6) mahir dalam kerajinan tangan, (7) belajar dengan melibatkan diri pada proses belajar, (8) gampang mengingat apa yang dilakukan dan bukan apa yang dikatakan atau diamati, (9) resah jika tidak melakukan apa-apa, dan (10) berfikir mekanik.

Berdasarkan ciri di atas, ortu di rumahpun harus kreatif untuk menyediakan pelayanan pelayanan belajar yang sesuai bagi si anak yang tergolong pelajar kinestetik tadi. Misalnya: (1) menggunakan tarian saaat belajar, (2) mengaktualisasikan gerak untuk belajar, (3) mendramatisasi proses belajar, (4) sering mengubah penataan meja belajar si anak, (5) memadukan gerak dengan materi pelajaran, (6) belajar melalui permainan peran/misalnya: si anak menjadi guru dan ortu menjadi murid, (7) saat belajar, gunakan permainan menjentik, bertepuk, ketukan kaki, meloncat, mendaki, (8) dan lain-lain.

Dengan demikian, anak bukanlah obyek penderita yang selalu jadi sasaran keaktifan guru/ortu. Bahkan anak bisa menjadi subyek yang dinamis dalam proses belajar, sedang guru/ortu sebagai obyeknya. Sehingga, dengan pelayanan belajar yang tepat (khususnya untuk pelajar kinestetik) akan mengarahkan si anak pada aktivitas belajar yang menjurus pada profesi/pekerjaan yang sesuai bagi si anak pada masa depan. Jadi, ia tak perlu frustasi lagi gara-gara tak bisa mencapai cita-citanya!


ESSAI

MESKI IBU PERTIWI MASIH MENANGIS,

TETAPKAN HATI MENATAP MASA DEPAN

Oleh: Yuyus Robentien


Sikap Para Orang Tua, Sebuah Realita

Pada saat kita berjalan di beberapa lampu merah dan pasar di perkotaan, akan tampak di mata kita para anak jalanan berkeliaran menunggu belas kasihan dan uluran tangan kita. Apalagi bila kita renungkan lebih mendalam, jumlah mereka tentunya kian meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan, dari tempat yang dulu masih kosong tanpa kehadiran anak jalanan tersebut, kini sudah mulai bermunculan. Ada apakah sebenarnya? Dan siapakah mereka?

Sebagian anak jalanan memang terlahirkan tanpa orang tua. Entah mereka berasal dari hubungan gelap para orang tua, yang kemudian membuangnya begitu saja. dan, setelah mereka mulai tumbuh menjadi anak-anak, diserobotlah oleh kaum preman untuk diberdayakan. Diberdayakan dalam ketidak-berdayaan mereka. Sehingga, dalam setiap harinya mereka harus berpeluh-keringat di jalan-jalan hanya untuk memenuhi target para kaum pemeras.

Di sisi lain, anak jalanan juga ada yang memiliki orang tua. Orang tua yang tak mau bertanggung-jawab atas masa depan mereka. Bahkan, para orang tua tersebut tega mengeksploitasi tenaga anak-anaknya, hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi.

Akan di bawa ke manakah generasi bangsa ini? Bukankah mereka adalah anak-anak bangsa yang harus memperoleh hak-haknya di masa kanak-kanak? Lalu, bagimanakah keadaan anak-anak yang terlahirkan dari kalangan orang tua berada? Akankah nasib mereka jauh lebih mujur, dibandingkan nasib anak-anak jalanan?

Jawabnya, cobalah kita tengok anak-anak yang terlahirkan dari keluarga kaya. Dengan siapakah sehari-harinya mereka di rumah? Dengan pembantu mereka dibesarkan. Belum lagi, pada saat rasa sepi menyeringai, sarana TV-game-dan internet, adalah sahabat mereka. Lalu, pengajaran apakah yang mereka peroleh dari TV-game-bahkan internet tersebut? Kehidupan kekerasan, tontonan amoral, bahkan kiriman situs porno yang tiba-tiba muncul dan tak dapat terelakkan. Maka tak mengherankan, bila tiba-tiba saja anak-anak usia dini sudah terlibat dalam berbagai tindak kriminal.

Belum lagi, di lingkungan sekolah mereka. Berteman dengan sesama anak orang kaya dan sibuk, sama artinya berkumpul dengan anak-anak frustasi, yang haus akan kasih sayang. Pada kondisi ini, akhirnya mereka bersekongkol untuk mencari kompensasi ke luar. Ke gedung-gedung bioskop, ke mall, bahkan ke diskotik. Di tempat-tempat yang rawan inilah mereka akhirnya mengenal hal-hal yang terlarang, salah satunya adalah narkoba. Yah, akhirnya mereka terjerumus ke dalam pergaulan bebas bahkan sek bebas.

Ditambah lagi, tingkat keamanan anak-anak untuk terlindungi dari segala marabahaya, sangatlah meragukan. Bagimana tidak, banyak sekali anak-anak pada usia dini, justeru diperkosa oleh bapak, paman, ataupun kakek mereka sendiri? Sungguh, ini kondisi yang memprihatinkan. Seolah, anak-anak bangsa ini, tak punya tempat yang layak, nyaman, apalagi care bagi mereka.

Pada kondisi seperti ini, tentu saja ibu pertiwi masih saja menangis. Meratapi

kemerdekaan yang telah diperjuangkan pahlawan sebelumnya, namun belum bisa memberikan

kemerdekaan pada anak-anak bangsa ini. Masih saja ada tugas yang tercecer, belum terusaikan.


Dimanakah Masa Depan Bangsa Ini?

Di pundak anak-anak bangsalah masa depan bangsa ini akan dilanjutkan. Untuk itu, agar mereka bisa amanah dalam memikul beban ini kelak, dibutuhkan suasana pemeliharaan yang representatif tentunya. Suasana pemeliharaan yang representatif ini, dapat diuraikan sebagai berikut.

Pertama, anak-anak hendaknya punya kegembiraan di masa kecilnya. Karena dengan kegembiraan itu, kecerdasan anak akan dapat tumbuh dan tergali secara sempurna. Bermain di tempat yang aman dan alami, akan mengantarkan anak pada pola perkembangan yang wajar, tanpa tuntutan dan paksaan. Sehingga, mereka dapat menemukan jatidiri secara baik dan apa adanya.

Jadi, penjejalan anak dengan kegiatan les dan privat, serta pembelajaran via komputer dan televis, belum tentu efektif mengantarkan anak untuk berkembang secara utuh. Berdasarkan penelitian, TV dan komputer bukanlah sarana yang efektif bagi pembelajaran anak-anak. Terutama pembelajaran bidang kemampuan berbahasa. Komunikasi dan interaksi langsung dari orangtualah yang justeru lebih efektif.

Belum lagi nasib para anak jalanan itu. Darimanakah mereka akan mendapatkan kegembiraan, sementara masa kecil telah mereka habiskan di jalan-jalan? Bagimana mereka bisa tumbuh secara optimal?

Kedua, Berdasarkan penelitian, perhatian orang tua sangatlah berpengaruh bagi perkembangan emosi anak. Untuk itu, para orang tua hendaknya proporsional dalam membagi waktunya. Sebab, mereka sibuk bekerja toh demi kepentingan anak-anak juga. Lalu apa artinya, terpenuhinya kebutuhan materi bagi anak-anak, sementara kebutuhan mental mereka terlupakan begitu saja?

Apalagi untuk nasib para anak jalanan itu. Darimana mereka akan mendapatkan kasih sayang dari orang tua, sementara memang mereka telah terlahirkan dalam keadaan tanpa orang tua? Bahka yang berorangtua pun, telah memanfaatkan mereka untuk mengais rezeki.

Ketiga, mendapatkan pendidikan yang cukup. Anak-anak yang terlahir dari keluarga berkecukupan belum tentu akan mengecap pendidikan yang cukup. Sebab, sebagian anak-anak banyak yang terjerumus dalam pergaulan bebas, terkena narkoba, terjangkit virus HIV. Sehingga, hari muda mereka hanya dihabiskan untuk keluar-masuk panti rehabilitasi.

Sedangkan anak-anak jalanan itu, mereka terpaksa putus sekolah bahkan tidak sekolah hanya tekanan keadaan. Jangankan untuk biaya sekolah, hanya untuk makan sehari tiga kali, belum tentu bisa mereka lakukan. Apalagi, tekanan pihak luar, orang-orang yang lebih dewasa, selalu saja memeras dan mengekang mereka.


Diperlukan Pembelajaran Orang Tua yang Mencerdaskan

Ketika orang tua sudah menyandang gelar sebagai “orang tua”, bukan berarti mereka telah terbebaskan dari kewajiban belajar. Menurut Harefa, tokoh “manusia pembelajar”, menyatakan belajar hendaknya dilakukan semua orang pada senjang hidupnya, tanpa batasan waktu. Tak perduli siapakah orang itu, hidup ini pada hakikatnya adalah proses pembelajaran itu sendiri. Yang menjadi guru dan murid adalah manusia itu sendiri. Dan, ketika seseorang terutama para orang tua mau berbenah atas kesalahan yang terjadi, berarti orang tersebut telah belajar.

Untuk itu, diperlukan pembelajaran yang mencerdaskan bagi para orang tua. Dengan cara mengembalikan “essensi” orang tua sebagaimana mestinya. Yaitu, orang tua adalah pendidik bagi anak-anaknya. Orang tua berkewajikan memberikan perhatian dan kasih sayang seutuhnya terhadap anak-anak. Bahkan, orang tua adalah pemberi teladan yang piawai bagi anak-anaknya.

Dengan demikian, orang tua hendaknya belajar dari realita yang ada. Jangan pernah “cuek” pada anak-anak. Antarkan anak-anak mengapai masa depan mereka yang cerah. Jadikan “optimisme anak bangsa” akan kembali terangkai di antara serpihan-serpihan yang hampir saja berhamburan. Satukan kembali tekad untuk menjadi “orang tua yang cerdas”. Tentu saja, orang tua yang cerdas intelektual, cerdas emosi, bahkan cerdas spiritualnya.


Implementasi Pembelajaran Sosial Kemasyarakatan yang Kondusif

Di masyarakat pun diperlukan sistem pembelajaran yang terpadu, penuh keteladanan, dan tanggung-jawab bersama. Sehingga, kehidupan masyarakat yang aman, tertib, peduli norma sosial dan agama, akan mengantarkan anak-anak lebih heigenis dari pengaruh buruk. Meski pengaruh luar negeri begitu ketat, bila tayangan televisi dan hiburan lainnya dapat diseleksi secara baik, tentunya kondisi anak-anak masih bisa dikendalikan.

Apalagi untuk mengentaskan nasib para anak-anak jalanan, Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA) harusnya mampu menjawab tantangan ini. Namun, sepertinya masih perlu pembenahan di sana-sini. Sebab, baru sebagian kecil saja orang-orang berkecukupan yang mau peduli akan kegiatan ini.

Sehingga, perlu pula partisipasi lembaga lain, bahkan individu untuk berusaha mengentas ketelantaran anak-anak jalanan yang ada. Misalnya, dengan mendirikan panti-panti asuhan, ataupun balai-balai pelatihan, dan lain-lain. Dengan harapan, sistem pembelajaran sosial kemasyarakatan yang kondusif akan dapat terimplementasikan secara baik; perlahan-bertahap-dan pasti.

*****

Kamis, 07 Februari 2008

PSIKOLOGI


DI KANTOR BANYAK MASALAH,
DI RUMAH TETAP ENJOY


Oleh: Yuyus Robentien




Masalah di Kantor, Pemicu Masalah Di Rumah

Stres adalah istilah yang datang dari ilmu kedokteran dan secara harfiah diartikan sebagai tekanan atau ketegangan yang memiliki kecenderungan mengganggu kita untuk beradaptasi atau mengatasi suatu masalah (Lazarus, 2005). Kondisi di atas bisa saja kita alami di kantor, bahkan ketika sampai di rumah. Misal, pimpinan yang memberikan job di luar kapasitas, sementara rekan yang lain dapat duduk tenang tanpa job. Tekanan ketidakadilan ini jelas akan mengganggu kenyamanan psikologis.

Sesampai di rumah, apa yang terjadi? Anak-anak menyambut dengan berbagai celotehannya, terkait dengan pengalaman di sekolah atau pengalaman saat bermain dengan anak tetangga. Belum lagi, keadaan rumah yang bak kapal pecah, karena pembantu yang tidak terampil mengurus rumah. Ditambah lagi, suami menelepon bahwa ia pulang telat karena ada lemburan di kantor.

Permasalahan di kantor belum selesai. Mengapa mesti ditambah permasalahan rumah yang begitu pelik. Belum lagi, memikirkan pekerjaan kantor yang harus diselesaikan malam itu juga di rumah. Belum lagi, harus membantu anak-anak mengerjakan PR. Bahh! Serasa badan pegal semua, mata memanas, nafas sesak, dan kepala pusing tujuh keliling.

Bila diusut darimana akar permasalahan di atas? Permasalahan di kantorlah yang menjadi pemicunya. Anak-anak di rumah, tetaplah anak-anak yang berada di luar keterbatasan kemampuan dan pemahaman orang dewasa. Anak-anak tidak mungkin dituntut untuk bersikap manis ketika orangtua datang dari kantor. Bukankah, saat orangtua bekerja, ada hak-hak mereka yang sudah terkurangi? Misalnya, hak mendapat perhatian, kasih sayang, dan cinta. Adalah wajar bila orangtua datang, mereka kemudian memberondong dan ingin meminta perhatian.

Begitu juga dengan pembantu di rumah. Pembantu adalah manusia lemah dengan keterbatasan pendidikan. Jelaslah pembantu tidak paham betul konsep ”smart working”, sehingga wajar bila ada pekerjaan rumah yang harus tercecer. Yang perlu dipertanyakan justeru kondisi orangtua itu sendiri. Benarkan orangtua pulang ke rumah sudah benar-benar tanpa membawa pekerjaan dari kantor? Sudahkan para orangtua pulang ke rumah tanpa membawa permasalahan dari kantor?

Dengan demikian, hendaklah orangtua pulang dalam keadaan siap. Siap disambut anak-anak yang berceloteh. Siap disambut keadaan rumah yang berantakan. Siap disambut kebandelan si kakak yang selalu menganggu adik. Siap disambut kecengengan si adik hanya karena boneka kesayangannya jatuh di kolong tempat tidur.
Sehingga, hindarkan urusan dan permasalahan kantor yang dibawa ke rumah. Hal ini akan memicu permasalahan di rumah. Hal ini akan menyulut emosi orangtua saat menghadapi anak-anak.



Jadilah Orang Tua yang Profesional

Menjadi orangtua pun perlu profesional. Artinya, istilah profesional tidak hanya berlaku bagi karyawan/profesi tertentu. Karena menjadi orang tua juga merupakan profesi yang mulai dengan gaji yang tak terhingga.

Berikut beberapa cara yang bisa ditempuh untuk menjadi orang tua professional, sepalang dari kantor.

Pertama, lupakan sesaat
Usahakan pulang setelah seharian lelah bekerja, dalam suasana rileks dan seringan mungkin. Berikut adalah beberapa gagasan pembangkit relaksasi yang membantu dan dapat dinikmati (Lazarus, 2005):
Berendam di dalam bak mandi berisi air panas atau mandi dengan air hangat
Berbaring dan tidur sebentar
Mendengarkan musik faforit.
Hiruplah minuman yang menyegarkan
Duduk sebentar di balkon, teras, kebun belakang, ruang pribadi, atau di temapt sepi
Luangkan waktu untuk diri sendiri
Pikirkan peristiwa lucu yang pernah dialami
Coba ciptakan suasana positif pada hari itu
Pertahankan suasana positif itu dengan menceritakan lebih dulu kabar baik kepada keluarga
Gagasan pembangkit relaksasi di atas, dapat dilakukan untuk melupakan urusan dan permasalahan kantor.

Kedua, matikan handphone
Pernyataan ini senada dengan pendapat Lazarus (2005). Disarankan agar begitu masuk rumah, hindari mendengarkan pesan telepon, dan langsung membantu anak-anak mengerjakan PR, mendengarkan keluhan pasangan, atau melakukan pekerjaan rumah tangga. Apalagi bila tipe pimpinan di kantor adalah orang yang otoriter. Hati-hati, bisa jadi setiap saat kita akan diteleponnya hanya untuk memperbincangkan urusan kantor. Bahkan, dia akan memaksa kita untuk datang kembali ke kantor pada hari-hari libur, saat kita harus bersantai bersama keluarga.

Saat bersama keluarga adalah hak keluarga. Jadi, tidak ada salahnya kita memilih dan memilah konsentrasi agar sama-sama professional saat di kantor ataupun di rumah. Saat telepon berdering dan memberitakan urusan kantor, saat itulah konsentrasi orangtua menjadi terbagi. Saat itu pula feeling anak-anak akan berkata bahwa mereka sedang dinomorduakan.
Maka, janganlah heran bila tiba-tiba saja anak-anak menjadi cengeng dan rewel. Tidak heran pula, tiba-tiba anak-anak menjadi agresif dan pemarah. Untuk itu, matikan handphone saat di rumah. Pastikan bahwa semua teman dekat dan famili sudah tahu nomor telepon rumah. Sehingga, bila ada berita penting, mereka bisa menghubungi via telepon rumah.

Ketiga, bersihkan diri-bersihkan hati-dan bernyanyilah
Selangkah setelah kita meninggalkan kantor, bersihkan pikiran dari segala urusan kantor. Konsentrasikan hati ke anak-anak di rumah. Bayangkanlah kelucuan dan keluguan mereka. Tersenyumlah.

Setelah sampai rumah, ada baiknya anak-anak diminta bersabar. Lalu, mandilah. Bersihkan diri dan hati dari segala kejengkelan dan kedengkian saat di kantor. Sesekali bolehlah bernyanyi gembira. Nyanyikanlah lagu kesukaan, sembari mengguyurkan air ke tubuh.

Keempat, temui anak-anak dan suami/istri dengan senyuman
Pastikan kondisi hati dan tubuh sudah bersih. Temui anak-anak dan suami dengan senyuman. Ajaklah mereka bermain dan bersuka-ria sesaat. Lalu, tanyakan tugas-tugas mereka dari sekolah.

Bimbinglah anak-anak menyelesaikan PR-nya. Bantulah hal-hal yang menyulitkan mereka. Jangan lupa antarkan tidur mereka dengan membacakannya satu cerita yang menarik. Hingga, esok anak-anak akan terbangun dengan kesan yang indah atas orangtua mereka.

Kelima, beristirahat dengan nyenyak
Sebelum beristirahat, temui suami/isteri. Berbincang santai sejenak. Tanyakan bila ada hal-hal yang perlu dibicarakan. Atau, mungkin kita yang sedang memiliki sesuatu yang harus dibicarakan. Sampaikanlah dengan ramah.

Istirahat adalah kebutuhan yang mendasar. Usik segala urusan. Lemaskan semua urat-urat yang menegang. Pejamkan mata perlahan. Jangan lupa berdoa.

Keenam, bangun pagi dengan optimisme baru
Sesaat setelah ayam jntan berkokok, bangunlah. Bukalah mata dengan optimisme baru. Bersyukurlah bila masalah kemarin telah terlewati dengan baik. Persiapkan segala sesuatunya dengan teliti, sebelum anak-anak bangun. Sebelum kita harus membantu anak-anak, mempersiapkan diri berangkat sekolah.

Komunikasikan Masalah Kantor dengan Para Kolega
Sesampai di kantor, tidaklah baik bila satu permasalahan dibiarkan berlarut-larut. Permasalahan mesti dikomunikasikan. Sampaikanlah keberatan-keberatan yang ada dengan para kolega. Pahamkanlah agar mereka mengerti keluhan kita.
Bila permasalahan yang muncul dari pimpinan yang otoriter. Sampaikanlah penolakan tugas yang dirasa menumpuk dan hanya dibebankan kepada kita. Yakinkan pada pimpinan bila pembagian tugas itu proporsional, maka hasil yang akan dicapai jelas lebih optimal dan memuaskan.

Mengambil Tindakan Pasti sebagai Solusi
Bila para kolega dan pimpinan belum juga memahami keluhan kita. Ada baiknya kita mengambil tindakan. Tindakan yang merupakan solusi. Solusi yang tentu saja akan mencerdaskan semuanya. Mencerdaskan kita, para kolega, juga pimpinan.
Misalnya, ajukanlah untuk pindah ke bagian lain yang lebih proporsional dan manusiawi. Dengan demikian, para kolega juga pimpinan akan berpkir betapa meruginya mereka bila kita sudah tidak berada di antara mereka. Sehingga, mereka akan berpikir dua atau tiga kali untuk melepaskan kita.

Pada situasi seperti ini, ada baiknya bila kita mengajukan satu komitmen. Mintalah para kolega untuk mengerti dan mau saling berbagi tugas. Mintalah pimpinan untuk lebih adil dan bijak dalam membagi tugas. Sehingga, semuanya akan baik-baik saja. Tidak ada pihak yang sangat dirugikan.
00O00

ARTIKEL


UJIAN NASIONAL
(Pemicu Ancaman Krisis Kepercayaan bagi Guru)
Oleh: Yuyus Robentien*


Seputar Pro dan Kontra Ujian Nasional/UN

Pemerintah mengabaikan kritik masyarakat yang menunjuk UN tidak sesuai prinsip-prinsip pedagogis, UU Sisdiknas, dan UU Guru. Buktinya UN untuk siswa SMP ditetapkan 22-24 Mei, SMA berlangsung 16-18 Mei 2006. Siapa dapat menghentikan rencana ujian nasional? Alasan penolakan bermula dari tujuan UN untuk memetakan mutu pendidikan di negeri ini, lantas bertujuan menentukan kelulusan siswa (Debritto.Net: Kartono, 18 Mei 2006).
Bahkan dalam Situs BSNP tentang Ujian Nasional 2008 (Sabtu, 24 November 2007 10:26:01 WIB Ujian Nasional) dijelaskan, pemerintah telah menetapkan bahwa Ujian Nasional (UN) untuk SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB dan SMK tahun pelajaran 2007/2008 akan dilakukan pada minggu keempat bulan April 2008. Penetapan ini melalui PERMEN No 34 Th 2007, tgl 5 November 2007. Acuan penyelengggaraan secara rinci diberikan pada POS UN. Mata Pelajaran yang diujikan adalah:
SMP/MTs/SMPLB (5-8 Mei 2008) - Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).

Berarti, UN akan dilaksanakan pada tahun 2007/2008 ini. Tampaknya, latar belakang di mana mayoritas siswa kita baru mau belajar jika ada tantangan berat di depannya. Misalnya ujian masuk SMP, SMA, dan PT, membuat pemerintah menganggap ujian nasional tetap penting untuk dilaksanakan pada tahun ini. Meski dalam UU Sisdiknas 2003 pasal 58 disebutkan dengan jelas, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik bukan oleh pemerintah (Pikiran Rakyat: Icha, 3 Februari 2005).

Padahal, ujian nasional terintegrasi ujian sekolah (UNTUS) untuk siswa SD yang mulai diterapkan pada bulan Mei 2008 dinilai hanya mengukur kemampuan kognitif siswa. Sebab itulah, sebagian besar orang tua dan masyarakat pendidik menentang pelaksanaan UNSD atau UNTUS tersebut ( Lampung Post: RIN, 19 November 2007). Dan yang lebih memprihatinkan, ternyata UN dinilai kurang sahih; tidak mampu memotret kompetensi siswa yang sesungguhnya. Masih ingat, siswa “berprestasi cemerlang” yang akhirnya gagal menempuh UN? (Jalur Lurus: Tuhusetya, 30 November 2007).
UN-pun mengancam eksistensi kepercayaan pada guru. Contoh pada siswa di pedalaman yang tidak lulus, ada komentar ketidaklulusan itu disebabkan oleh guru yang tidak kompeten. Sementara bila siswa di perkotaan banyak yang lulus, ada komentar kelulusan tersebut disebabkan oleh sebagian besar anak perkotaan mengikuti Bimbingan Belajar/Bimbel di luar sekolah (swasta).
Lalu, di manakah eksistensi guru dapat terakui? Dan menurut Wibisono (Wawasan Digital: 24 November 2007), UN itu bersifat nasional maka ada kendala pembeda antara sekolahan yang ada di perkotaan dengan sekolahan yang ada di pinggiran. Seperti yang kita amati bersama, antara sekolah di perkotaan dengan di pinggiran tentunya memiliki perbedaan, mulai dari segi fasilitas maupun kualitas gurunya. Pada pernyataan di atas, memungkinkan guru menjadi salah satu penyebab kegagalan siswa. Benarkah UN yang menjadi pemicu ancaman krisis kepercayaan bagi guru?!


Persepsi Siswa: Sebuah Realita

Tiap tahunnya menjelang pelaksanaan Ujian Nasional (UN), Lembaga Bimbingan Belajar (LBB) selalu diserbu para siswa, baik SD, SMP dan SMA. Satu tujuan yang ingin dicapai, yakni bagaimana mereka bisa lulus UN dan dapat masuk ke sekolah atau Perguruan Tinggi Negeri (PTN) favorit. Melihat fenomena seperti ini, timbul pertanyaan di benak kita. Apa yang membedakan sistem pembelajaran di LBB dengan sistem pembelajaran di sekolah-sekolah? Pada prinsipnya sistem pembelajaran yang diterapkan di sekolah dengan yang diterapkan sebagian besar LBB tak berbeda. Bahkan kurikulum yang digunakan selalu mengacu pada kurikulum yang berlaku secara nasional. Hanya saja penerapan metode penyampaian yang digunakan oleh LBB lebih variatif bila dibandingkan dengan yang dilakukan guru-guru bidang studi di sekolah (Suara NTB: Bug, 22 Februari 2007).

Berdasarkan hal di atas, penulis termotivasi untuk mengadakan survei pada sebuah Sekolah Menengah Pertama yang tergolong bonafit dan faforit di kota Malang. Survei tersebut berusaha menjaring data yang terkait dengan aspek-aspek Pembinaan Menjelang UN di sekolah, dibandingkan LBB/Bimbingan Belajar (Bimbel) yang berada di luar sekolah. Setelah diadakan survei diperoleh data, terdapat 79,13% siswa telah mengikuti Bimbel di luar sekolah dan 20,87% belum/tidak mengikuti Bimbel. Data ini diperoleh dari seratus lima belas (115) siswa kelas 9 yang telah mengisi angket.

Berdasarkan isian angket di atas, diketahui bahwa persentasi siswa lebih banyak yang menyatakan Bimbel jauh lebih baik dibandingkan Pembinaan di Sekolah. Dengan kata lain, persentasi siswa lebih sedikit yang menyatakan Pembinaan di Sekolah lebih baik dibandingkan Bimbel. Hal di atas, berangkat dari penilaian siswa berdasarkan aspek-aspek: kualitas (program); kompetensi guru; kecocokan/representasi materi; dan pengaruhnya terhadap kelulusan siswa, baik pada Pembinaan di Sekolah maupun pada Bimbel.

Memang, terdapat persentasi siswa lebih banyak yang menyatakan Pembinaan di Sekolah lebih berpengaruh pada kelulusan siswa. Namun, pendapat tersebut bukan disebabkan oleh keyakinan siswa akan kualitas pembinaan di sekolah, kompetensi guru, ataupun kecocokan materinya. Pendapat tersebut lebih dipengaruhi oleh keyakinan siswa bahwa guru adalah salah satu pemegang palu kelulusan siswa, sama seperti pendapat bahwa guru adalah salah satu penentu kenaikan kelas siswa.

Jadi, fenomena ancaman krisis kepercayaan siswa terhadap guru, mulai menampak. Namun, apakah UN yang menjadi pemicu ancaman krisis kepercayaan tersebut?!


UN adalah Ladang Bertani Para Guru


Sebenarnya, pernyataan “UN sebagai pemicu ancaman krisis kepercayaan bagi guru” adalah hal yang perlu dikaji kembali. Sebab, UN adalah program pemerintah yang tidak bisa terelakkan sampai detik ini. Namun, akankah guru terperangkap dalam ketidakberdayaan dan mendiskreditkan UN? Alih-alih menunggu kebijakan pemerintah tentang UN berubah, guru harus tetap berpikir bijak untuk mengambil langkah positif.

Seorang pelaut ulung memberi nasihat,” Kamu tidak akan bisa mengubah arah angin tapi kamu bisa mengubah arah layarmu.” Kamu juga tidak bisa mengubah keputusan para pejabat negara yang telah menetapkan UN. Tapi kamu bisa mengubah sikapmu menyambut UN (Welcome to IZI Consulting Forum: Agus, 20 Juli 2006). Nasihat ini dapat diterapkan guru. Guru hendaknya bersikap lebih proaktif dan kompetitif. Siap bekerja keras, menjadikan UN sebagai tantangan.

Mungkin, bukan UN-nya yang menjadikan guru tidak memiliki eksistensi pengakuan masyarakat saat siswa-siswanya lulus 100%. Barangkali, bukan UN-nya pula yang menjadikan guru sebagai oknum pertama yang tertuduh saat ada siswa yang tidak lulus. Bisa jadi, rumor di atas muncul justeru berangkat dari kharismatik guru yang kurang terasah. Sebab, sebagian guru memang masih kurang berpacu untuk mengembangkan profesionalitas.

Seharusnya, UN dijadikan ladang bagi guru untuk bertani. Bukankah seorang petani akan lebih memahami bagaimanakah cara bercocok-tanam yang baik dibandingkan seorang nelayan, misalnya? Bukankah seorang petani lebih memiliki alat-alat pertanian yang lebih tajam dibandingkan seorang pedagang, misalnya?

Berarti, seorang guru jauh lebih tahu kurikulum dibandingkan professional lain. Guru juga lebih menguasai Standar Kompetensi Lulusan/SKL dibandingkan professional lain. Bahkan, guru memiliki materi dan kisi-kisi soal UN yang lebih representatif. Harusnya, guru lebih piawai dalam membimbing para siswa agar lulus 100%.

Ibarat pedagang, adalah wajar bila dalam satu pasar ada banyak penjual buah-buahan. Begitu juga dengan “Program Bimbingan Belajar/Bimbel” menjelang UN. Harusnya, guru lebih memiliki produk dengan “daya jual” lebih tinggi. Sebab, guru lebih mengetahui kurikulum. Guru lebih memahami SKL berserta kisi-kisi soal. Bahkan, guru memiliki pengembangan materi yang lebih cocok dan representatif.

Untuk itu, mulailah untuk berbenah. Ciptakan kharismatik diri secara dewasa. Tidak hanya sebagai wahana perbisnisan. Tapi, UN adalah wahana bagi guru untuk mengemban tanggung jawab yang besar. Sebab, para siswa secara resmi menjadi tanggung-jawab guru. Bukan tanggung jawab para tentor, pembina, ataupun pengajar di sebuah Bimbingan Belajar/Bimbel (Swasta). Kelulusan para siswa, adalah tanggung jawab guru.

Adalah ironis, bila siswa tidak lulus, gurulah yang menjadi tudingan. Sementara bila siswa lulus dengan nilai memuaskan, justeru peran guru “dialpakan”. Harusnya, fenomena ini tidak perlu terjadi andaikan para guru memiliki tindakan antisipatif sebelumnya. Misal, dengan menunjukkan pola pembinaan/bimbingan menjelang UN melalui program yang jelas, terarah, serta bertolok ukur. Apalagi para guru Pembina pelajaran UN tersebut benar-benar guru pilihan, handal, memiliki etos kerja tinggi, loyal, serta bertanggung jawab.

Memang dibutuhkan upaya kreatif untuk memulihkan sebuah krisis kepercayaan di atas. Pertama, guru membuat “peta konsep” berdasarkan SKL yang ada. Sehinggga, siswa tidak harus dijejali materi yang terlalu overloud dan memuakkan. Kedua, guru juga membuat pola penentuan indikator berdasarkan soal-soal UN sebelumnya. Berdasarkan pola indikator yang sudah terbentuk tersebut, guru dapat menyusun indikator-indikator (kisi-kisi soal) baru yang disesuaikan dengan SKL terbaru.

Ketiga, guru juga harus mempelajari formulasi bentuk soal-soal UN sebelumnya. Lalu, guru mencoba menyusun soal berdasarkan kisi-kisi yang dibuat sebelumnya, dengan mengadaptasikan formulasi bentuk soal yang telah ditemukan. Kalau guru sudah handal menyusun kisi-kisi dan soal UN, otomatis guru pun akan tahu “trik” menjawab soal secara benar. Sehingga upaya keempat yang bisa dilakukan, membantu siswa menemukan cara belajar yang “cerdas dan mudah”. Bahkan kelima, guru bisa menciptakan “jaringan tirakat” dengan para siswa. Artinya, pada waktu tertentu guru bisa mengingatkan siswa (via SMS/telepon, misalnya) agar melakukan sholat malam dan berdoa. Dan, si guru pun turut sholat malam dan mendoakan siswanya.

Nah, dengan upaya kreatif di atas, guru tentu memiliki tawaran produk yang lebih menjanjikan. Hal ini akan menjadikan para siswa lebih bersimpati pada gurunya. Para siswa akan lebih percaya dan memilih gurunya. Bahkan, kepercayaan ini akan mengurai sebuah kedekatan bathin antara guru dengan siswa. Sehingga, para siswa menjadi yakin bahwa mereka akan mendapatkan keberkahan dari Tuhan karena senantiasa menghargai dan menghormati guru. Akhirnya, terciptalah keselarasan dan keharmonisan cita-rasa dan karsa, antara guru dan siswa.
*****

VISI-MISI MTsN MALANG I


VISI:
Mewujudkan sebuah lembaga pendidikan lanjutan tingkat pertama yang berciri khas agama Islam dengan kondisi dan situasi lingkungan yang kondusif untuk menyiapkan dan mengembangkan segenap sumber daya insani yang ada sehingga dapat mencapai kualitas unggul di bidang IPTEK dan IMTAQ.
MISI:
Menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas baik bidang IPTEK maupun IMTAQ dengan mewujudkan: lingkungan yang bersih, asri, nyaman serta agamis; PBM yang berotientasi pada Student Active Learning; Full Day Learning dan Bimbingan Belajar serta efektivitas pembinaan ekstrakurikuler. Pemberdayaan masjid sebagai Laboratorium Keagamaan, pembiasaan sholat berjamaah serta sholat sunnah, tartil Alqur'an, ucapan kalimat Toyyibah dan perilaku sopan.
Bekerjasama dengan Komite Madrasah, menjalin hubungan baik dengan masyarakat, bekerjasama dengan dunia usaha, sebagai perwujudan Managemen Berbasis Sekolah (MBS).

IKRAR SISWA MTsN MALANG I (Dalam Menuju Hidup Sehat)

IKRAR SISWA MTsN MALANG I
(Dalam Menuju Hidup Sehat)


Kami siswa MTsN Malang I, berikrar:
1. Selalu makan pagi di rumah, setiap hari
2. Tidak mencoret-coret di lingkungan madrasah, terutama di meja dan
kursi

3. Berperan serta dalam memelihara dan melestarikan tanaman di sekitar
madrasah

4. Menjaga kebersihan lingkungan dan tidak membuang sampah
sembarangan

5. Berperilaku hidup sehat dan Islami