KEBERHASILAN BELAJAR ANAK
TERGANTUNG PADA PELAYANAN SEKOLAH/GURU DAN ORANG TUA
Sebagian besar orang tua atau guru terlalu mendiskreditkan bahwa “anak itu bodoh”, bila melihat seorang anak mengalami kesulitan/kelambatan belajar. Padahal, hal itu bukanlah hal yang mutlak. Banyak faktor yang mempengaruhi. Termasuk salah satunya adalah kurang tepatnya pelayanan sekolah/guru, juga orang tua, dalam memfasilitasi proses belajar si anak.
Masing-masing anak memiliki kecenderungan kecerdasan dan gaya belajar yang berbeda-beda. Sedangkan sekolah/guru, termasuk ortu, pada umumnya memberikan pelayanan belajar yang mencakup dua ragam kecerdasan saja, yaitu kecerdasan linguistik dan kecerdasan matematis-logis. Padahal, kecenderungan kecerdasan anak berpengaruh pada kecenderungan gaya belajarnya. Sehingga, anak yang memiliki kecenderungan kecerdasan di luar linguistik dan matematis-logis, akan merasa tidak terlayani. Dengan kata lain, pelayanan belajar dari guru/ortu tersebut tidak sesuai dengan gaya belajar anak. Hal inilah yang menyebabkan anak mengalami kegagalan belajar, meski sebenarnya dia “tidak bodoh”.
Ada tiga kecenderungan gaya belajar anak (DePoorter, 2000), yaitu gaya belajar visual, auditorial, dan kenestetik. Pelajar visual adalah pelajar yang belajar paling baik ketika melihat gambar-gambar yang mereka pelajari: sebagian kecil mereka berorientasi pada “teks tercetak” dan dapat belajar melalui membaca. Pelajar auditorial, yang paling baik belajar melalui suara: musik dan berbicara. Sedangkan pelajar kinestetik, paling baik belajar ketika mereka terlibat, bergerak, mengalami, dan mencoba-coba.
Untuk menemukan gaya belajar seorang anak, dapat dicermati melalui bahasa tubuh si anak saat menerima informasi (Jeannette Vos, 2002).
*Pelajar visual biasanya duduk tegak dan mengikuti penyaji/guru dengan matanya.
*Pelajar auditorial sering mengulang dengan dengan lembut kata-kata yang diucapkan penyaji/guru, atau sering menganggukkan kepalanya saat penyaji/guru menjelaskan informasi lisan.
*Pelajar kinestetik sering menunduk saat ia mendengarkan.
Untuk mencermati gaya belajar seorang anak, juga bisa melalui gerakan mata dan mendengarkan pembicaraan anak tersebut.
*Pelajar visual biasanya duduk tegak dan melihat lurus ke depan, atau matanya memandang ke atas saat menerima informasi, dan jika berbicara cepat.
*Pelajar auditorial biasanya melihat ke kiri-kanan saat menerima infirmasi, dan jika bicara dengan suara yang berirama.
*Pelajar kinestetik biasanya banyak bergerak, memandang ke kanan dan ke bawah sat menerima dan menyimpan informasi, dan ia seorang pembicara yang lambat.
Dengan demikian, kita bisa menentukan kecenderungan kecerdasan dan gaya belajar seorang
anak. Tanpa pendiskreditan tertentu, kita bisa lebih bijak dalam menyikapi keterlambatan
belajar mereka. Sebagai pihak pendidik pun, kita bisa lebih interospeksi diri.
Kegagalan Pelajar Kinestetik dan Peran Kinesiologi
Secara umum, seperti dipaparkan di atas bahwa sekolah-sekolah masih cenderung melayani siswanya dengan cakupan orientasi pada kecerdasan linguistik dan matematis-logis. Hal ini menimbulkan masalah belajar pada pelajar kinestetik. Seperti disampaikan Gordon Dryden dan Dr. Jeannette Vos (tahun 2002) bahwa “para pelajar kinestetik adalah yang paling beresiko gagal dalam kelas tradisional Mereka perlu bergerak, menyentuh, atau bertindak. Jika metode pengajarannya tidak memungkinkan mereka melakukannya, mereka merasa ditinggalkan, tidak terlibat, dan bosan”. Sehingga, riset yang dilakukan Howard Gardner, Dunns, dan Barbara Prashing menunjukkan bahwa kebanyakan murid putus sekolah tidak mendapatkan yang terbaik di sekolah yang hanya menampung dua “ragam kecerdasan’ daru tujuh atau lebih ragam kecerdasan yang ada. Dan kebanyakan dari mereka uga merasa terabaikan di lingkungan sekolah yang tidak mendukung pembelajran kinestetik.
Seharusnya, sebelum kasus putus sekolah itu terjadi, para guru/ortu sudah mengetahui akan kurang tepatnya pelayanan mereka untuk si anak. Sebab, kondisi di atas jelas berakibat pada perasaan yang terabaikan. Perasaan yang terabaikan inilah yang beresiko “stress” dalam diri siswa. Padahal, 80% kesulitan belajar itu berhubungan dengan stress. Untuk itu, kinesiologi mulai mencoba menghilangkan gejala ini.
Seperti halnya kinestetik (gerakan), kinesiologi (ilmu tentang gerakan), dan kinestesia (kepekaan akan posisi, gerakan, dan ketegangan dari anggota tubuh) merupakan aspek-aspek yang penting pada gaya belajar. Kathleen Carroll-ahli kinesiologi dari Washington DC yang menerapkan strategi belajar cepat terpadu dalam pelatihannya-mengatakan, “Kinesiologi meningkatkan kemampuan akademik semua orang.” Jadi, kinesiologi berperan besar dalam membantu pelajar kinestetik yang mengalami stress dalam belajar. Sehingga, sebelum kasus putus sekolah terjadi, keteringgalan pelajar kinestetik dalam belajarnya, bisa diupayakan semaksimal mungkin melalui kajian kinesiologi.
Partisipasi Ortu
Sebagai Ortu, hendaknya berperan aktif dalam mencermati gaya belajar anak-anaknya, sebelum si anak benar-benar mengalami kegagalan. Apalagi bila ditemukan kekurangtepatan pelayanan sekolah/guru dengan gaya belajar si anak, seperti yang sering terjadi pada pelajar kinestetik. Komunikasikanlah masalah ini dengan pihak sekolah/guru. Sehingga, guru bisa mencoba mencari alternatif metode pelayanan belajar yang sesuai dengan kebutuhan si anak.
Pelajar kinestetik cenderung memiliki kecerdasan kinestetik pula. Kecerdasan ini biasa ditemukan pada: penari, aktor, atlet, penemu, ahli bedah, karateka, pekerja luar, dan bakat mekanis. Adapun ciri yang menonjol adalah (1) memiliki daya kontrol tubuh luar biasa, (2) refleks yang sempurna, (3) belajar paling efektif dengan bergerak, (4) suka olah raga fisik, (5) suka menyentuh, (6) mahir dalam kerajinan tangan, (7) belajar dengan melibatkan diri pada proses belajar, (8) gampang mengingat apa yang dilakukan dan bukan apa yang dikatakan atau diamati, (9) resah jika tidak melakukan apa-apa, dan (10) berfikir mekanik.
Berdasarkan ciri di atas, ortu di rumahpun harus kreatif untuk menyediakan pelayanan pelayanan belajar yang sesuai bagi si anak yang tergolong pelajar kinestetik tadi. Misalnya: (1) menggunakan tarian saaat belajar, (2) mengaktualisasikan gerak untuk belajar, (3) mendramatisasi proses belajar, (4) sering mengubah penataan meja belajar si anak, (5) memadukan gerak dengan materi pelajaran, (6) belajar melalui permainan peran/misalnya: si anak menjadi guru dan ortu menjadi murid, (7) saat belajar, gunakan permainan menjentik, bertepuk, ketukan kaki, meloncat, mendaki, (8) dan lain-lain.
Dengan demikian, anak bukanlah obyek penderita yang selalu jadi sasaran keaktifan guru/ortu. Bahkan anak bisa menjadi subyek yang dinamis dalam proses belajar, sedang guru/ortu sebagai obyeknya. Sehingga, dengan pelayanan belajar yang tepat (khususnya untuk pelajar kinestetik) akan mengarahkan si anak pada aktivitas belajar yang menjurus pada profesi/pekerjaan yang sesuai bagi si anak pada masa depan. Jadi, ia tak perlu frustasi lagi gara-gara tak bisa mencapai cita-citanya!